Tantangan RTH, dan Peran Kaum Muda dalam EBT

KOMITMEN pada penggunaan energi baru terbarukan (EBT), dan realisasi ruang terbuka hijau (RTH) di sejumlah daerah, menjadi sorotan banyak pihak belakangan ini.

Para pemimpin dunia, kawasan regional serta pemerintahan sebuah negara, berupaya berkontribusi aktif meredam pemanasan global. Tak terkecuali pemerintah daerah Kota Cirebon.

Walau diakui oleh Penjabat (Pj.) Wali Kota Cirebon, Drs H Agus Mulyadi MSi, RTH di wilayah yang dipimpinnya baru mencapai 9,4 persen dari ketentuan 20 persen wilayah kota / kabupaten.

“Luas RTH di Kota Cirebon belum memenuhi kewajiban sebesar 20 persen. Sampai 2024 sekarang, (luas RTH) Kota Cirebon baru mencapai 9,4 persen,” katanya beberapa waktu lalu.

Namun begitu, pihaknya terus menjaga dan mengoptimalkan RTH yang sudah ada. “Kita pantau agar RTH yang ada sesuai peruntukkannya,” imbuhnya seraya membeberkan jika luas RTH yang ada sekarang, murni lahan milik Pemkot Cirebon.

“Luas RTH 9,4 persen dari total wilayah Kota Cirebon 39,4 kilometer itu, bersih milik kita. Yang lahan pribadi tidak termasuk,” tuturnya.

Termasuk lapangan-lapangan, lanjut Agus, sudah diaudit oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), masuk ke dalam RTH yang 9,4 persen itu. Di antaranya lapangan Korem SGJ dan kawasan Pesisir.

Seperti kita ketahui bersama, hal mendesak yang menjadi perhatian warga bumi sekarang adalah bagaimana negara maju dan berkembang seperti Indonesia, mampu berkolaborasi membuat iklim planet ini lebih baik. Tentu saja, peran generasi muda sangat diharapkan.

Bahasan dan penerapan tentang EBT, tak melulu menjadi kebijakan atau konsumsi para pemangku kepentingan di tingkat elit pemerintahan. Yang notebene menjadi bagian dari generasi lebih dulu ada. Tetapi, partisipasi kaum muda akan berpengaruh nyata pada realisasi penggunaan EBT.

Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemprov Jabar menyebutkan, potensi EBT bisa dimaksimalkan lebih masif. Energi surya menjadi yang terbesar di Jabar, mencapai 156,630 gigawatt peak (GWp).

Selain itu, ada tenaga angin sebesar 12.272 megawatt (MW) dan panas bumi sebesar 5.956,80 MW. Namun, selain panas bumi yang sudah dimanfaatkan hingga 20 persen, angin dan surya masih berjuang menyentuh angka 1 persen.

Generasi muda bisa melihat pemanfaatan EBT relevan dengan kondisi geopolitik kekinian. Harga komoditas energi fosil, seperti minyak bumi dan batu bara, melonjak tajam. Akibatnya, saat krisis energi terjadi di sejumlah negara, hal itu bakal berimplikasi pada stabilitas politik dan kelangsungan bernegara.

EBT bakal mewariskan lingkungan yang lebih baik bagi masa depan. Jangka panjang, saat penggunaan kendaraan listrik meningkat, penggunaan EBT pasti lebih murah ketimbang fosil.

Jabar menggenjot banyak program peningkatan penggunaan EBT. Setelah pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dan pembangkit listrik tenaga surya solar home system (PLTS SHS), pengembangan EBT diarahkan pada pengembangan PLTS atap.

Rencana pengembangan PLTS atap akan diperluas ke sekolah dan pesantren. Skemanya lewat kerja sama dengan Kedutaan Besar Inggris. Telah disusun prastudi kelayakan untuk 173 SMA/SMK di Jabar. Nantinya akan dicoba melalui pembiayaan alternatif untuk mewujudkan implementasi PLTS atap di sekolah-sekolah agar lebih masif.

Akan tetapi, semua bukan tanpa tantangan. Dari aspek regulasi, kewenangan sektor energi relatif tersentralisasi di pemerintah pusat. Hal itu menyebabkan terbatasnya ruang fiskal dan gerak daerah dalam pengembangan EBT. Selain itu, dari aspek teknis, kemampuan sistem jaringan untuk menyerap listrik dari EBT masih terbatas. Sifatnya juga masih belum bisa dipastikan tersedia terus-menerus.

Partisipasi generasi muda dalam mengubah pola pikir (mindset), dan kebiasaan di tengah publik, menjadi sangat dinantikan. Lewat kaum muda, bangsa Indonesia boleh berharap. Kelangsungan pemanfaatan EBT di masa depan menjadi tantangan yang penuh inovasi dan kolaboratif dari semua pemangku kepentingan.

Penulis: Rona

DKIS Kota Cirebon