Sertifikasi Cagar Budaya di Cirebon

KOTA CIREBON – Kesultanan Keraton Kasepuhan Cirebon menyambut baik adanya Proses pembuatan sertifikasi cagar budaya untuk beberapa cagar budaya di Cirebon. Legalitas dalam bentuk sertifikat cagar budaya itu diharapkan dapat menjaga dan menyelamatkan hasil warisan dan cagar budaya cirebon.

Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan, PRA Arief Natadiningrat mengatakan, perlindungan cagar budaya memang sudah masuk dalam undang-undang dan berbagai peraturan. Namun secara konkret atau per item, peraturan itu belum ada.

Sultan berharap dengan program sertifikasi, seluruh hasil warisan dan cagar budaya di Cirebon semakin terjaga dan terlindungi. “Cirebon (Kota dan Kabupaten) itu kaya akan cagar dan warisan budaya. Mereka harus dilindungi dan diselamatkan. Dengan undang-undang Hak Kekayaan dan Intelektual (HAKI) melalui program sertifikasi, proses penjagaan itu akan berjalan,” kata PRA Arief saat di Keraton Kasepuhan, Minggu (25/11/2012) sore.

Sultan Arief mengatakan pihaknya sangat menyambut positif program tersebut. Ia yang terlihat telah lama menanti sikap perhatian pemerintah, mengaku Budaya di Cirebon tidak kalah dengan daerah kebudayaan lainnnya, Bali, Yogyakarta, dan lainnya. Bahkan Cirebon banyak memiliki cagar budaya yang tidak ada di negara lain.

“Program ini sebagai upaya tegas untuk mengantisipasi sikap negara yang suka mengaku-ngaku kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan mereka. Karena pada dasarnya, banyak kebudayaan kita yang tidak dimiliki mereka. Pintu Bacem itu hanya ada di Cirebon, tidak akan ditemui di negera lain,” tuturnya dengan menunjuk arsitektur pintu gerbang yang dimaksud.

Selain itu, Arief menegaskan, sertifikasi tidak hanya untuk cagar budaya yang berbentuk tempat dan bangunan saja. Namun seluruh hasil seni dan kreatifitas yang dibangun di Cirebon harus mendapatkan sertifikat HAKI itu, salah satunya adalah nasib batik. Pembuatan batik yang menggunakan cetakan tekstil merupakan perampasan Hak Cipta Pengrajin Batik manual.

“Pabrik-pabrik tektil telah merampas Hak Pembatik Manual. Batik itu dibuat menggunakan kain, ukiran canting yang berisi cat, dan kemudian di lilin. Itu baru yang namanya batik. Yang menggunakan alat catakan saja, sekalipun sama motifnya, itu bukan batik,” tegasnya.

Menurutnya, kualitas yang dihasilkan antara tekstil dan lilin sangat berbeda. Bukan hanya itu, urgensitas dari Hak Cipta Batik itu adalah agar para pembatik tidak gulung tikar terhadap daya kreatifitas seni. “Kan yang jadi korban mereka para pembatik manual. Selain berkarya, melalui batik itulah mereka mencari nafkah,” ujarnya.