Seringai Topeng kala Langit Gelap

Buka sampai malam, berharap lebihan pengunjung. Seratusan topeng mengisahkan perjalanan hidupnya di museum ini.

Ada di jantung kota, pelancong dengan mudah mampir Museum Topeng. Apalagi yang tiba di Cirebon naik kereta api. Tak sampai lima menit, diantar becak ke balai kota. Atau jalan kaki juga relatif dekat: menapaki pedestrian depan Stasiun Kejaksan, belok kanan menuju kantor pemerintahan warisan era kolonial.

Museum Topeng terletak di sayap kiri gedung eksentrik bermahkota udang. Sebelum masuk ke dalam museum, lima topeng besar menyambut di area parkir. Seolah mengucap “sugeng rawuh” kepada para wisatawan.

Info Museum Topeng siap menerima kunjungan malam hari (4/10/25), menarik perhatian saya. Tak perlu lama memutuskan, selepas waktu magrib saya ajak anak nomor tiga ke sana. Muhammad (10) ingin tahu rasanya main ke museum ketika langit gelap. Menyeramkan kah? Apalagi yang ditengok kumpulan topeng beraneka rupa. Ada yang bertaring pula! Hiii…

Lalu-lintas kendaraan malam minggu memang lebih padat. Jalanan didominasi pasangan muda-mudi yang hendak ke pusat kota (Alun-alun Kejaksan). Satu arah dengan kami. Balai Kota Cirebon berdiri di Jalan Siliwangi. Berhadapan dengan gedung DPRD dan Hotel Prima, yang pemiliknya terkait erat dengan Museum Topeng.

Sebuah kereta kencana bercat emas nangkring di teras museum. Replika kendaraan pembesar keraton itu perwujudan tubuh garuda, naga dan gajah yang belalainya menghunus trisula. Masyarakat menyebutnya kereta Paksi Naga Liman. Kebanggaan wong Cheribon.

Di balik pintu kaca, dua petugas siaga. Begitu melangkah masuk, mereka ramah menyapa. Lelaki berkaus hijau mempersilakan mengisi buku tamu. Tadinya saya ingin menikmati keheningan museum berdua dengan Muhammad. Namun, mereka mengiringi. Menjelaskan koleksi yang tersimpan di sana.

“Kami ‘cek ombak’,” kata Handi Prasetyo, konservator Museum Topeng. “Ingin tahu respons publik saat buka malam. Kalau banyak pengunjung, program ini bisa diteruskan.”

Sementara di jadwal reguler: Selasa-Sabtu (08.00-15.00), sejak diresmikan 2 September 2024 hingga Agustus 2025, tercatat 8.277 tamu. Pelajar dan mahasiswa mendominasi. “Rombongan anak sekolah datang bersama guru pendamping. Mereka sekalian belajar sejarah topeng Cirebon,” tuturnya.

Sokongan Narada Art Gallery

Kehadiran Museum Topeng tak bisa dilepaskan dari Narada Art Gallery yang berlokasi di Desa Panawuan, Kuningan. Pemilik Narada, mendiang Iman Taufik sejak lama menaruh perhatian serius pada pelestarian budaya Cirebon dan kesenian topengnya.

“Selain membeli topeng dari perajin, koleksi kami juga banyak disumbang dari Narada,” beber Handi.

Tak heran, ketika merayakan setahun Museum Topeng, Rabu (10/9/25), Narada kembali menghadiahi 488 topeng Nusantara plus wayang serta topeng khas Venesia (Italia) yang legendaris. Istri Iman Taufik, Nani Yurniati, mewakili keluarga dalam momen spesial tersebut.

Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, berjanji merawat dan menggaungkan lebih luas koleksi topeng yang ada. Bentuk kesungguhan, dia lekas mengosongkan ruang depan Museum Topeng yang sebelumnya dipakai Diorama Arsip.

“Saya akan ajukan pula ke gubernur, agar anak sekolah di Jawa Barat diizinkan studi tur ke Museum Topeng,” ujarnya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Cirebon, Agus Sukmanjaya membeberkan, dari hampir seribu koleksi Narada Art separuhnya kini berpindah ke Museum Topeng. Pihaknya tak ingin mengecewakan publik. Ruang penyimpanan disiapkan sebaik mungkin.

Iman Taufik (1942-2022) dikenal luas sebagai pebisnis sektor kelautan dan perhotelan. Tahun 2010, Yayasan Prima Ardian Tana yang dibinanya, menghelat Festival Topeng Nusantara (FTN) di Gedung Negara, Cirebon.

Rangkaian acara FTN yang menyedot atensi dunia adalah pemecahan rekor MURI pembuatan 5.000 topeng kreatif oleh pelajar dan seniman. Perwakilan Unesco untuk kawasan Asia dan Pasifik, Prof Dr Hubert Gijzen, sampai hadir. Termasuk dramawan kondang, Putu Wijaya.

“Tak akan ada sukses kalau tidak melibatkan generasi muda. This is your show, not my show, I am too old (ini adalah karyamu, bukan karyaku, karena aku sudah terlalu tua),” ucapan Iman ketika memberi sambutan, membekas hingga sekarang.

Komitmen Pemajuan Kebudayaan

Sesekali Handi membuka kaca etalase, membetulkan posisi topeng. Sepekan sekali, pegawai Disbudpar Kota Cirebon itu membersihkan topeng dengan cairan khusus. “Biar awet, tidak jamuran,” katanya.

Handi ditugasi sebagai konservator museum, menggantikan rekan yang mengundurkan diri. Dia enjoy menjalankan pekerjaannya sekarang. Selain memang gandrung sejarah, juga antusias menemani anak-anak sekolah ketika berkunjung.

Handi menjelaskan Museum Topeng merupakan wujud komitmen Pemkot Cirebon dalam melestarikan khazanah budaya lokal. Sesuai Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan Tahun 2017.

Kementerian Kebudayaan, kata dia, mewajibkan tiap daerah punya dua museum. Satu museum tentang histori kewilayahan, lainnya khusus tentang seni dan budaya setempat. “Kota Cirebon baru punya museum khusus topeng. Terdaftar resmi di Kemenbud,” ujarnya.

Sambil menemani saya berkeliling, Handi mengulas singkat Topeng Panca Wanda yang kesohor di kawasan Cirebon dan Indramayu. Meliputi topeng panji, samba, rumyang, tumenggung serta kelana. Kelima topeng menyimbolkan siklus kehidupan manusia. Mulai kelahiran, masa remaja, hingga tua.

Sementara Kedok Topeng Panji menceritakan heroisme Raden Panji Inukertapati (Janggala) berikut kisah asmaranya dengan Dewi Sekartaji (Panjalu) dan Anggraini, yang diekspos dalam pertunjukan topeng Babakan.

“Topeng kelana paling sering ditampilkan dalam tari topeng. Gerakannya lincah dan atraktif diiringi gamelan serta tawa menggelegar lakon Rahwana,” paparnya.

Puas melihat ragam koleksi topeng di sana, pengunjung ditawari pula aktivitas melukis topeng gerabah dengan biaya Rp30.000. Topeng bisa dikirimkan ke tujuan, dengan tambahan biaya lima ribu rupiah. “Pelajar SD yang suka ngecat topeng. Pengalaman berkesan buat mereka,” sahut Handi.

Azan Isya berkumandang. Saya menyudahi kunjungan. Ketika pamit ke Handi, dari celah jendela museum, seringai topeng dengan mata melotot seolah enggan berpisah. Tatapannya lekat, terus membayangi di tengah gelap malam. (*)

Penulis: Mochamad Rona Anggie