PROBLEMA DIKLATPIM

Latar Belakang

Humas Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tahun 2014, menyatakan bahwa tercatat Pegawai Negeri Sipil (PNS) sampai dengan akhir 2013 adalah 4,46 juta orang. Dalam kurun waktu 10 tahun pertumbuhannya mencapai 22,47% dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,63% . Namun lebih lanjut Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagaimana dikutip dari Media Indonesia, terbitan tanggal 15 Januari 2007 menyatakan : “Sebanyak 55% atau 1,9 juta pegawai negeri sipil (PNS) Indonesia tidak berkualitas. Mereka sebagian besar berada di bagian tata usaha, yang tidak memiliki keahlian, keterampilan, dan tersebar di seluruh departemen, kementerian dan lembaga.” Ditinjau dari produktivitas dan daya saing pada level ASEAN, Indonesia hanya menduduki peringkat relatif rendah dibanding Negara-negara lainnya dikawasan ASEAN, sebagaimana dirilis Global Competitiveness Index — World Economic Forum (WEF) 2008 – 2014

Pengembangan kualitas sumber daya aparatur (PNS) melalui diklat merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas dan dayaguna (performa) aparatur negara yang selama ini dianggap masih rendah. Intensifikasi   terhadap upaya diklat bagi PNS sejalan dengan penataan kembali kebijakan kepegawaian dalam sistem pembinaan karier pegawai yang dititikberatkan pada merit system, dimana basis pembinaannya didasarkan atas kemampuan dan profesionalisme dalam mencapai tingkat kinerja yang ditentukan. Kegiatan tersebut juga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi antara tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan Pemerintah dengan tersedianya sumber daya aparatur negara.

Berkenaan dengan upaya meningkatkan performa PNS melalui Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) antara lain dilakukan dengan menyelenggarakan Diklat Struktural, Diklat Teknis dan Diklat Fungsional. Secara khusus untuk pengembangan dan peningkatan kemampuan seseorang yang menduduki suatu jabatan struktural dilakukan melalui diklat yang sesuai dengan tingkat jabatan yang diembannya, yang disebut sebagai Diklatpim. Diklatpim dianggap penting dan menjadi prasyarat seseorang menduduki suatu jabatan, termasuk didalamnya diberlakukan terhadap jabatan-jabatan struktural di daerah. Namun berkenaan dengan diklatpim ini masih dirasakan adanya dilema sebagaimana uraian berikut. Tulisan ini merupakan review penulis atas  tulisan Muhlis Irfan yang berjudul Problematika Pengembangan Pegawai Negeri Sipil (2015), dan hasil penelitian Muhlis Irfan, dkk (Puslit BKN,2003).

 

Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim)

Diklatpim pada dasarnya dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi kepemimpinan aparatur pemerintah yang sesuai dengan jenjang jabatan struktural. Secara terperinci, Diklatpim terdiri dari: Diklatpim Tingkat IV, yakni Diklatpim untuk Jabatan Struktural Eselon IV, Diklatpim Tingkat III, yakni Diklatpim untuk Jabatan Struktural Eselon III, Diklatpim Tingkat II, yakni Diklatpim untuk Jabatan Struktural Eselon II, Diklatpim Tingkat I, yakni Diklatpim untuk Jabatan Struktural Eselon I.

Berdasarkan klasifikasi di atas, jelas bahwa Diklatpim sifatnya adalah tidak hierarkis, sehingga peserta yang akan mengikuti Diklatpim tertentu tidak dipersyaratkan mengikuti Diklatpim Tingkat di bawahnya. Lebih lanjut mengenai peserta Diklatpim ini, dapat juga diikuti oleh Pejabat pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan peserta tamu dari negara-negara sahabat yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing dan ditetapkan oleh Instansi Pembina.

Dasar pemikiran dari kebijakan diklat, khususnya menyangkut Diklatpim adalah: 1. Diklat merupakan bagian integral dari sistem pembinaan Pegawai Negeri Sipil; 2. Diklat mempunyai keterkaitan dengan pembinaan karir Pegawai Negeri Sipil; 3. Sistem diklat meliputi proses identifikasi kebutuhan, perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi diklat; 4. Diklat diarahkan untuk mempersiapkan Pegawai Negeri Sipil agar memenuhi persyaratan jabatan yang ditentukan dan kebutuhan organisasi termasuk pengadaan kader pimpinan dan staf (Noorsyamsa Djumara, 2008).

Efektivitas Diklatpim

Wacana yang berkembang akhir-akhir ini memperlihatkan keefektifan penyelenggaraan Diklatpim masih sering dipertanyakan, terutama berkaitan dengan fenomena yang terjadi pada kondisi aparatur pemerintahan sekarang ini. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002  tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 100 tahun 2000 tentang pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan struktural juga dianggap telah mendukung terhadap kesangsian banyak pihak tentang keefektifan penyelenggaraan Diklatpim. Kaitannya dengan hal tersebut, Diklatpim yang selama ini diselenggarakan nampaknya belum memperlihatkan hasil yang sesuai dengan tujuan dan sasarannya. Penyelenggaraan Diklatpim ternyata belum dapat menghasilkan pimpinan-pimpinan yang mampu mengelola sumber daya aparatur, baik di Pusat maupun Daerah.

Fokus Instansi Penyelenggara Diklatpim

Terdapat beberapa fenomena yang menyebabkan belum optimalnya hasil-hasil Diklatpim yang diselenggarakan instansi-instansi penyelenggara Diklatpim, baik di Pusat dan Daerah. Salah satu yang menjadi sebab adalah penyelenggaraan Diklatpim belum mendapat perhatian yang cukup serius, terutama dari instansi-instansi penyelenggara Diklatpim ataupun dari instansi pembina (Lembaga Administrasi Negara/LAN), sehingga outputs dan outcomes penyeleng-garaan  Diklatpim masih jauh dari harapan.

Disisi lain, belum maksimalnya outputs dan outcomes Diklatpim juga dikarenakan pengendalian atau pengawasan terhadap pasca Diklatpim selama ini belum dijalankan dengan optimal. Seperti disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, Instansi Pengendali Diklatpim adalah Badan Kepegawaian Negara (BKN), yang secara fungsional bertanggung jawab atas pengembangan dan pengawasan standar kompetensi jabatan serta pengendalian pemanfaatan lulusan Diklat.

Secara lebih khusus, Instansi Pengendali Diklatpim (BKN) bertugas melakukan: (a). Pengembangan dan penetapan standar kompetensi jabatan; (b) Pengawasan standar kompetensi jabatan, dan (c) Pengendalian pemanfaatan lulusan Diklat. Berkaitan dengan fungsi dan tugasnya tersebut, BKN selama ini belum secara lebih optimal melakukan pengendalian pasca Diklatpim di lingkungan Pegawai Negeri Sipil, Pusat maupun Daerah. Hal ini disamping belum mengejawantahkan amanat dari kebijakan pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya, juga menyebabkan tidak terkontrolnya penyelenggaraan Diklatpim dan tidak terwujudnya pengembangan Pegawai Negeri Sipil yang berkualitas.

Korelasi Diklatpim dengan Karir

Dalam konteks pelaksanaan Diklatpim, pertanyaan yang diajukan adalah apakah benar-benar terdapat kesesuaian antara Diklatpim dengan pengembangan/pembinaan karier pegawai? Sebagaimana telah diulas dalam dasar pemikiran kebijakan diklat diatas, khususnya menyangkut Diklatpim. Pada kenyataannya, pelaksanaan Diklatpim yang selama ini dilakukan masih belum terkait sepenuhnya dengan pembinaan dan pengembangan karir pegawai. Hal ini dibuktikan dengan gambaran di lapangan, dimana banyak kasus alumni Diklatpim yang belum menduduki jabatan struktural tidak langsung menduduki jabatan struktural sesuai dengan Diklatpim yang telah diikuti, ataupun memperoleh prioritas untuk dipromosikan kedalam jabatan struktural. Gambaran ini didukung penelitian oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BKN tahun 2003, yang menggambarkan masa tunggu bagi alumni Diklatpim Tingkat II untuk menduduki jabatan Eselon II minimal adalah enam bulan. Bahkan, terdapat beberapa pejabat yang menjadi responden mengaku harus menunggu selama lima tahun (Muhlis Irfan dkk., 2003).

Keikutsertaan dalam Diklatpim juga tidak digunakan sebagai salah satu rujukan atau bahan pertimbangan untuk penempatan seseorang dalam suatu jabatan (struktural) atau menjadi acuan untuk pengembangan karier (promosi) pegawai. Sebaliknya, pada kebanyakan kasus keikutsertaan seorang pegawai dalam Diklatpim dimaksudkan hanya untuk memenuhi persyaratan bagi pegawai yang telah mendudukai jabatan struktural. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan dalam Jabatan Struktural, dijelaskan tidak ada batasan waktu bagi pegawai yang telah menduduki jabatan struktural mengikuti Diklatpim. Persyaratan mengikuti Diklatpim dapat digantikan dengan memberikan sertifikat sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh instansi pembina dan instansi pengendali. Ini berkebalikan dengan aturan sebelumnya yang menyebutkan batasan waktu bagi pegawai yang telah menduduki jabatan struktural, yakni maksimal 12 (dua belas) bulan setelah pegawai tersebut dilantik. Perbandingan peraturan tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini:

Perbandingan PP Nomor 100/2000 dan PP Nomor 13/2002

PP Nomor 100/2000 PP Nomor 13/2002
PP Nomor 100/2000

Pasal 7:

PNS yang diangkat dalam jabatan struktural belum mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan sesuai dengan tingkat jabatan struktural wajib mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak yang bersangkutan dilantik.

Pasal 7 (1):

PNS yang akan atau telah menduduki jabatan struktural harus mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan untuk jabatan tersebut.

 

Pasal 7 (2):

PNS yang telah memenuhi persyaratan kompetensi jabatan struktural tertentu dapat diberikan sertifikat sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh instansi pembina dan instansi pengendali serta dianggap telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan yang dipersyaratkan untuk jabatan tersebut.

 

 

“Duk-dik” atau “Dik-duk”?

Pengembangan kualitas sumber daya aparatur negara, khususnya Pegawai Negeri Sipil, melalui diklat selama ini masih belum optimal dan juga masih belum memperhatikan pada aspek pengelolaannya (human resources management). Hal ini diperlihatkan dengan kondisi prasyarat dan pasca penyelenggaraan diklat yang masih memperlihatkan kelemahan-kelemahannya, yakni: (1) Ukuran dan kriteria peserta Pegawai Negeri Sipil yang mengikuti program-program diklat masih belum jelas; (2) Pegawai Negeri Sipil yang mengikuti program-program diklat tidak diikuti dengan penempatan pada posisi yang seharusnya (Kuspriyomurdono, 1996).

Dari uraian di atas, menggambarkan program-program diklat yang diselenggarakan masih belum jelas sasaran (objek) yang sebenarnya, yakni menyangkut keikutsertaan dalam diklat, misalnya: eselonisasi, golongan, jabatan atau beban tugas yang diembannya. Bahkan, keikutsertaan sesorang pegawai dalam suatu diklat juga jarang mendasarkan atas analisis kebutuhan (training need assesment), baik kebutuhan pegawai maupun unit kerjanya. Disamping itu, para peserta yang mengikuti diklat juga tidak jelas dalam hal tindak lanjutnya dalam bidang pekerjaan ataupun penempatan posisi selanjutnya.

Dalam konteks keikutsertaan pegawai dalam Diklatpim, pertanyaan yang kemudian mengiringi adalah, kapankah saat yang tepat organisasi mengirim seorang pegawai mengikuti Diklatpim?. Apakah ketika seorang pegawai telah menduduki suatu jabatan struktural (”duk-dik”) ataukah ketika seorang pegawai akan dipromosikan menduduki suatu jabatan struktural (”dik-duk”)?. Pertanyaan ini mengandaikan kepada pertanyaan: ”manakah yang terlebih dahulu, ayam ataukah telor?”. Dan, untuk menjelaskannya bukan hanya sekedar wacana yang mengarah pada perdebatan ”kusir” yang tidak berujung pangkal, namun perlu   suatu pembuktian di lapangan tentang dampak positif dan negatif dari keduanya.

Penelitian yang dilakukan penulis ke beberapa daerah memberikan gambaran dampak positif dan negatif dari penerapan kedua sistem di atas. Penerapan sistem ”duk-dik”, dimana seorang pegawai mengikuti Diklatpim setelah menduduki suatu jabatan struktural pada banyak hal cenderung melanggar peraturan yang berlaku, khususnya terhadap peraturan mengenai persyaratan-persyaratan keikutsertaan dalam Diklatpim yang diatur oleh LAN, sebagai instansi Pembina Diklatpim. Alasan seseorang pegawai telah menduduki jabatan struktural menjadi alasan yang tidak dapat ditampik oleh instansi Penyelenggara Diklatpim, meski persyaratan-persyaratan keikutsertaan dalam Diklatpim belum memenuhi. Persyaratan seperti pangkat/golongan minimal, batas minimal pendidikan, batas minimal usia, kemampuan berbahasa Inggris (yang dibuktikan dengan skor TOEFL); sepertinya tidak diindahkan. Dan, instansi penyelenggara Diklatpim tidak kuasa menolak seorang pegawai yang telah mendapat ”restu” dari instansi pengirimnya.

Disisi lain, penerapan sistem ”duk-dik” juga dapat memberi impak yang kurang baik bagi peserta Diklatpim. Peserta Diklatpim memiliki kecenderungan kurang serius dalam mengikuti Diklatpim, dikarenakan ia merasa telah menduduki jabatan struktural. Diklatpim dianggap hanya bersifat formalitas untuk memenuhi persyaratan jabatan struktural saja. Dengan demikian, bila sistem ini diberlakukan kompetensi seorang pegawai yang menempati jabatan struktural masih dipertanyakan kehandalan (reliable), sebagaimana tujuan pokok dari pelaksanaan Diklatpim. Apakah ini menjadi salah satu penyebab masih rendahnya kinerja instansi Pemerintah?

Selanjutnya, bagaimana bila menerapkan sistem ”dik-duk”? Penerapan sistem ”dik-duk” mempunyai dampak yang positif bagi pengembangan kualitas pegawai. Dalam sistem ini pemilihan pegawai yang akan mengikuti Diklatpim adalah mereka yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan sesuai aturan yang berlaku atau kapabel. Seorang pegawai yang telah ”terpilih” untuk mengikuti Diklatpim akan memiliki kecenderungan lebih serius dalam mengikuti proses pembelajarannya.

Dari sisi penyelenggaraan Diklatpim, bila sistem ini diberlakukan, instansi penyelenggara Diklatpim tidak melanggar aturan yang diberlakukan instansi Pembina Diklatpim (LAN). Namun demikian, semua pihak yang terlibat juga diharuskan memantau pemanfaatan dan kemanfaatan alumni Diklatpim dalam organisasi, sehingga mereka benar-benar memperoleh apa yang diharapkan dari keikutsertaannya dalam Diklatpim. Sebab, tanpa memperhatikan hal-hal tersebut alumni Diklatpim akan memiliki beban psikologis yang dapat mengganggu kinerjanya, dan keikutsertaan pegawai dalam Diklatpim hanya memboroskan anggaran Pemerintah.

Penutup

Berdasarkan hal diatas, maka segenap pihak kiranya dapat menentukan langkah yang bijak dalam menyikapinya. Apa yang sebaiknya dilakukan organisasi dalam menentukan pilihan yang akan diambil? Tentu, masing-masing pihak punya argumen yang mendasari pada penentuan pilihan yang diputuskan. Namun, kiranya perlu diperhatikan dua hal yang dapat menjadi pertimbangan awal dalam perencanaan pengiriman atau penyelenggaraan Diklatpim, yaitu: pertama, apabila pertimbangan awal dari pengiriman dalam Diklatpim adalah untuk efisiensi anggaran organisasi, maka penyelenggaraan Diklatpim dapat dilaksanakan ketika seorang pegawai telah menduduki suatu jabatan struktural. Artinya, keikutsertaan seorang pegawai dalam Diklatpim harus terlebih dahulu menduduki suatu jabatan struktural, baru kemudian ia mengikuti Diklatpim atau diistilahkan dengan ”duk-dik”. Meskipun hasil pengembangan kualitas pegawai belum tentu tercapai dan ada kecenderungan melanggar aturan-aturan yang berlaku.  Kedua, apabila pertimbangan pengiriman dalam Diklatpim didasarkan atas pengembangan dan peningkatan kualitas SDM atau pegawai, maka keikutsertaan seorang pegawai dalam Diklatpim adalah bagi mereka yang akan promosi atau menduduki jabatan struktural. Artinya, pegawai yang akan dipromosikan untuk menduduki jabatan struktural diberikan pendidikan (Diklatpim) atau diistilahkan ”dik-duk”. Dalam hal ini, hanya pegawai-pegawai yang potensial untuk dikembangkan karirinya atau telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang dapat diajukan untuk mengikuti Diklatpim. Meskipun demikian, kontrol kepada alumni Diklatpim harus ketat terhadap pemanfatan dan kemanfaatannya dalam organisasi.

Dua dasar pertimbangan di atas tentu memiliki dampak positif dan negatifnya terhadap sistem kepegawaian ataupun aspek-aspek lainnya. Hanya saja semua pihak dituntut untuk berpikir secara komprehensif terhadap permasalahan yang berkembang di lingkup masing-masing tempat atau pada saat-saat kondisi tertentu. Hal ini dikarenakan satu dari dasar pertimbangan mungkin dapat diterapkan pada suatu tempat dan waktu tertentu, namun mungkin tidak dapat diterapkan pada suatu tempat yang lain dan waktu yang lain pula.

Referensi

Kuspriyomurdono, Problems of Government Human Resources Management in Indonesia, State Administration Staff College (Diklat SPAMEN Angkatan I-F), Jakarta, 1996.

Muhlis Irfan, dkk. Efektivitas Diklat Struktural Bagi Pegawai Negeri Sipil (Post Training Evaluation), Jakarta: Puslitbang Badan Kepegawaian Negara, 2003.

Noorsyamsa Djumara, ”Implementasi Diklatpim Pegawai Negeri Sipil”, Makalah pada Konsinyasi Analisis Implementasi Diklatpim bagi Pegawai Negeri Sipil, Puncak-Bogor, 2008.

Urip Rudi Subiyantoro, Kebijakan Manajemen Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III, Studi Kualitatif tentang Kebijakan Penyelenggaraan Diklatpim di Departemen Agama, Disertasi, PPs Uiversitas Negeri Jakarta, 2006.

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

Oleh: Drs. Handaru,M.Si

Widyaiswara Madya pada BKPPD Kota Cirebon

Cirebon, 3 Agustus 2018