Pemberitaan Ramah Anak Bisa Wujudkan Kota Layak Anak

CIREBON – Dewan Pers memandang perlu adanya pedoman penulisan yang berempati terhadap anak sebagai generasi penerus bangsa, karena anak sering diposisikan menjadi korban secara faktual di lapangan maupun di pemberitaan media. Pedoman tentang penulisan kasus yang melibatkan anak adalah kode etik jurnalistik yang sangat umum di media khususnya cetak dan siber.

Demikian diungkapkan Wakil Ketua Dewan Pers  Hendri Chairudin Bangun saat memberikan materi dalam webinar pelatihan Konvensi Hak Anak (KHA) bagi media sahabat anak, Kamis (29/4). “Dewan Pers berkomunikasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tentang keinginan membuat pedoman ini,” tuturnya.

Menurutnya, pada saat yang sama, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan keprihatinan atas adanya pasal dalam Undang-undang Sistem Pidana Peradilan Anak. “Dalam UU ini dapat mengkriminalkan pemberitaan anak khususnya terkait identitas,” ujarnya.

Dalam webinar ini ia menekankan beberapa poin penting, yaitu wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya. “Wartawan dapat membuat berita bernuansa positif, prestasi atau pencapaian untuk mempertimbangkan dampak psikologis anak dari efek negatif pemberitaan yang berlebihan,” katanya.

Sementara itu, Asisten Deputi  Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak Kemen PPPA, Rr. Endah Sri Rejeki, S.E.M.IDEA, pH.D yang turut menjadi pemateri mengungkapkan, perlindungan anak di Indonesia di era otonomi daerah ini diwujudkan dalam Kota Layak Anak (KLA) yang dituangkan dalam Perpres KLA Nomor 25 Tahun 2021. “Ada lima klaster yang harus dipenuhi dalam KLA ini, yaitu hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, serta perlindungan khusus,” ujarnya.

Menurutnya, dalam klaster hak sipil dan kebebasan terdapat indikator Informasi Layak Anak (ILA). “ILA ini merupakan informasi yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan terkait dengan perkembangan jiwa dan sosial anak mengikuti perkembangan usia dan kematangannya,” ujarnya.

Kabid Perlindungan Anak Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSPPPPA) Kota Cirebon, Hj. Haniyati, S.Pd., M.Si. mengatakan, peserta webinar ini mendapatkan sertifikat. “Artinya dapat sertifikat ini berarti peserta tersebut sudah paham terhadap hak konvensi anak dan secara tidak langsung mereka berkontribusi dalam perwujudan Kota Layak Anak,” ujarnya.

Peserta webinar ini sendiri di antaranya insan pers, dinas terkait, Relawan Ngabaturan Budak Sakola Online (Ngabaso), juga Motivator Ketahanan Keluarga (Motekar).

Haniyati menambahkan, dalam memberitakan kasus anak, media harus berpatokan terhadap Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Pemberitaan Hak Anak. “Yang saya lihat media di Cirebon sudah banyak yang ikuti peraturan tersebut, di antaranya menyembunyikan identitas,” tuturnya.

Namun, menurutnya, alangkah lebih baiknya jika media juga banyak memberitakan soal prestasi anak. “Meski ada juga media yang sudah memberitakan prestasi anak, namun masih kurang banyak, jadi makin banyak berita tentang prestasi atau pencapaian anak itu makin bagus,” ujarnya.

Terkait Kota Layak Anak, menurutnya, saat ini Kota Cirebon berada di posisi madya. “Pada bulan lalu kita sudah selesaikan input data Kota Layak Anak, saat ini sedang dievaluasi oleh tim pusat dan kita masih menunggu hasilnya,” katanya.

Ia menambahkan, pemberitaan ramah anak termasuk ke dalam penilaian karena masuk ke dalam klaster hak sipil dan kebebasan. “Lima klaster tersebut terdapat 365 pertanyaan, yang Alhamdulillah sebagian besarnya bisa kita jawab. Satu pertanyaan itu ketika dijawab maka harus ada pembuktiannya,” tuturnya.

Usai dievaluasi nanti, menurutnya, apakah Kota Cirebon masuk standar atau tidak maka tergantung tim penilai. “Kalau masuk standar nanti kita diverifikasi lagi, apakah nanti hasil akhirnya kita masih di kategori madya atau naik tingkat ke nindya,” katanya.

Kota Cirebon sendiri sudah berada di posisi madya selama dua tahun yaitu pada 2018 dan 2019, sementara pada 2020 Kemen PPPA tidak melakukan penilaian terhadap seluruh daerah di Indonesia karena terjadi pandemi Covid-19.