WAYANG CIREBON

[vc_row][vc_column][vc_column_text]

Wayang merupakan suatu kesenian yang dimiliki oleh berbagai daerah dengan ciri khasnya masing – masing, di antaranya adalah wayang kulit, wayang golek, dan wayang suket yang kesemuanya memiliki ciri khasnya sendiri. Di Cirebon juga ada kesenian wayang kulit yang memiliki perbedaan dari daerah lainnya di Indonesia, wayang juga berperan penting dalam penyebaran Islam di daerah Cirebon yang dilakukan oleh Wali Songo sehingga masyarakat lebih mudah menerimanya. Berikut ini kami ulas mengenai kesenian wayang kulit khas Cirebon.

[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column][vc_tta_tabs][vc_tta_section title=”WAYANG KULIT” tab_id=”1612327801693-ba5966f0-02f5″][vc_column_text]Wayang Kulit Cirebon dibuat terutama dari kulit sapi atau kulit kerbau yang diberi kerangka dari bambu dilengkapi dengan gagang atau pegangan yang disebut /cempurit/ yang berfungsi untuk menggerakkan wayang serta menancapkan wayang tersebut pada batang pisang. Setiap wayang memiliki bentuk, wajah, dan warna yang khas sesuai dengan karakteristik dan sifat masing-masing tokohnya. Wayang kulit di Cirebon juga biasa dikenal sebagai Wayang Purwa karena dipandang sebagai jenis wayang paling awal (purwa = awal/permulaan)[/vc_column_text][/vc_tta_section][vc_tta_section title=”WAYANG GOLEK” tab_id=”1612327801693-6a35d586-691a”][vc_column_text]Kesenian wayang golek pertama kali dikenalkan oleh pembuatnya yaitu Sunan Kudus pada tahun 1583. Setelah menyebar di Jawa, kesenian wayang golek juga masuk ke Cirebon menyebar ke daerah-daerah lain di Jawa Barat terutama di kalangan masyarakat kelas atas atau kelompok elit. Wayang golek yang saat itu banyak dipentaskan dalam Bahasa Jawa kurang begitu populer hingga situasi ini berubah ketika Jawa Barat berada di bawah pengaruh kekuasaan Mataram dan dilanjutkan dengan masa tanam paksa di mana penduduk Jawa Tengah pindah ke Jawa Barat.Pada masa itu terjadi perkembangan baru dalam kesenian wayang, yaitu wayang yang biasa terbuat dari kulit, mulai diganti bahan pembuatannya dengan papan tipis. Seiring waktu dari abad 19 ke abad 20, wayang yang terbuat dari papan tipis ini mulai berbentuk seperti boneka dan dikenal sebagai wayang golek hingga sekarang ini.

Dalam pementasannya di Cirebon sendiri wayang golek mulai dipentaskan dalam Bahasa Sunda sehingga digemari oleh masyarakat luas. Terlebih dalam setiap pementasan wayang golek, sang dalang senantiasa menyisipkan cerita yang mengandung pesan moral. Di Cirebon, wayang golek memiliki sebutan khusus yaitu wayang bendo atau wayang cepak. Disebut demikian karena tutup kepala wayang tersebut berbentuk seperti bendo atau rambut yang dicepak. Wayang Bendo dimainkan oleh dalang dengan diiringi gamelan.[/vc_column_text][/vc_tta_section][vc_tta_section title=”WAYANG KULIT CIREBON” tab_id=”1612327808554-388e8ad3-cd59″][vc_column_text]Wayang kulit sebagai salah satu unsur budaya masyarakat memiliki peran yang penting dalam perkembangan sejarah Islam di Cirebon. Ketika dipentaskan dalam berbagai acara seperti perayaan kelahiran, sunatan, resepsi pernikahan, ataupun upacara tolak bala, wayang kulit tidak hanya berfungsi sebagai sarana rekreatif yang menghibur masyarakat.
Namun, wayang kulit juga memiliki fungsi religiusitas di mana di dalam pertunjukan wayang tersebut juga diselipkan muatan dakwah dan pesan-pesan keagamaan.

Asal-usul wayang menurut Ardian Kresna (2012:17) dimulai sekitar tahun 1500 SM di mana masyarakat pada saat itu meyakini bahwa setiap benda yang hidup pasti mempunyai ruh baik dan ruh jahat. Kemudian wayang dibuat sebagai bentuk ilusi atau bayangan serta perwujudan dari upaya penggambaran kehidupan manusia pada umumnya.Wayang kemudian menjadi bagian dari prosesi upacara keagamaan pada masyarakat Hindu dan Budha dengan ditambahkannya sesaji. Kemudian, ketika Islam masuk, para Wali Songo menggunakan wayang tersebut untuk menyebarkan agama dengan menyisipkan nama-nama dan lakon cerita yang bernafaskan Islam.

Mengacu pada penjelasan Musium Wayang, para Wali Songo saat berperan dalam mempengaruhi bentuk wayang kulit di Cirebon. Ciri khas Wayang Kulit Cirebon adalah menggunakan pakaian, sementara wayangnya berwarna cat kehijauan dengan bentuk tatahan halus.

Hal ini terlihat pada Batara Kala atau Batara Narada yang memakai baju dan tidak bertelanjang dada, berbeda dengan wayang kulit Purwa dari Yogyakarta dan Surakarta, di mana para Dewa tidak memakai baju.

Dengan tujuan untuk penyebaran agama Islam itu sendiri, pakem ceritera Wayang di Cirebon masih mengacu pada Kitab Ramayana dan Mahabharata kemudian oleh Sunan Panggung (Sunan Kalijogo) ceritanya dibuat bernafaskan Islam kemudian diperbarui dan disesuaikan dengan dasar-dasar ajaran agama Islam.

Tokoh punakawan pun menjadi  9 orang yang melambangkan jumlah 9 orang Wali Songo yang menjalankan dakwah Islamiyah diantaranya: Semar, Bagong, Ceblek, Gareng, Dawala, Cingkring, Witorata, Bagol Buntung, dan Curis.[/vc_column_text][/vc_tta_section][vc_tta_section title=”BAHASA PEDALANGAN” tab_id=”1612327810282-924b8177-022b”][vc_column_text]Dalam melakukan pementasan wayang kulit, seorang dalang atau orang yang memainkan wayang kulit akan menggunakan bahasa pengantar dengan dialek Cirebon, namun setelah tahun 1980 para dalang yang mementaskan wayang kulit mnenggunakan bahasa dialek Cirebon yang sudah dicampur dengan bahasa Indonesia yang bertujuan agar masyarakat terutama anak muda memahami isi ceritanya.[/vc_column_text][/vc_tta_section][/vc_tta_tabs][/vc_column][/vc_row]