Ketika Anak-anak Kota Cirebon Jadi Topik Serius di Kala Sarapan Pagi bersama Wali Kota Cirebon

Pagi itu, suasana Kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Cirebon terasa berbeda. Aroma kopi hitam dan teh manis mengepul dari gelas-gelas kaca, tersaji hangat berdampingan dengan sepiring pisang goreng, serabi dan nasi kuning. Bukan sekadar sarapan biasa, tapi pagi itu ada diskusi yang tak kalah hangat—bahkan bisa dibilang mendesak. Di antara tawa ringan dan sapaan hangat, satu topik mulai mengemuka dan menyita perhatian: kekerasan terhadap anak yang akhir-akhir ini marak di media.

Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, S.A.P., M.Si., hadir langsung di tengah suasana santai tersebut. Duduk berdampingan dengan Edi Siswoyo, SAP., Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Cirebon, keduanya tampak menyimak penuh saat Siti Nuryani, Ketua Komnas Perlindungan Anak Cirebon Raya, memulai pembicaraan soal kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di bawah umur.

“Yang bikin miris, Pak,” ucap Siti sambil meletakkan sendoknya pelan, “beberapa kasus  yang terjadi di tempat kost harian. Ada anak melakukan penyimpangan seksual. Anak-anak ini korban, dan teknologi pun sekarang malah jadi alat eksploitasi.”

Erdi, praktisi hukum yang ikut hadir, mengangguk pelan. Ia menambahkan bahwa kasus-kasus seperti ini perlu ditangani tidak hanya dari aspek hukum, tapi juga pendekatan psikologis dan sosial. Sementara R. Suripto Indrawibawa, S.H.—atau yang akrab disapa Mbah Surip dari Bagian Hukum Setda Kota Cirebon—memberi pandangan dari sisi regulasi dan perlindungan hukum jangka panjang.

Kepala DP3APPKB, yang memandu obrolan pagi itu, menekankan pentingnya pemadanan data antara lembaganya dengan Komnas Perlindungan Anak. “Kami tidak bisa bekerja sendiri. Kita harus kerja bersama, berbagi informasi, dan yang paling penting: jangan cuma fokus pada menghukum, tapi juga pada memulihkan,” ujarnya sambil menuang teh ke cangkir tamu sebelahnya.  Dalam suasana yang mulai hening, menyampaikan pandangannya dengan suara tenang tapi tegas. “Kita harus mengingat bahwa semua anak adalah anak kita. Keluarga memang benteng pertama, tapi lingkungan sosial juga punya tanggung jawab besar. Kita butuh pengasuhan komunal, pengasuhan yang melibatkan semua: tetangga, sekolah, RT-RW, tokoh agama, bahkan dunia usaha. Anak-anak butuh ruang aman yang tidak hanya ada di rumah, tapi juga di masyarakat.”

Obrolan terus bergulir. Wali Kota Cirebon, yang sejak awal menyimak dengan seksama, tiba-tiba menyela, “Kalau memang rumah kost itu jadi tempat terjadinya perilaku menyimpang, jangan tunggu lama. Pak Edi, Satpol PP harus turun. Segera monitoring dan tertibkan yang perlu ditertibkan.”

Kepala Satpol PP pun mengangguk cepat, mencatat hal itu di buku kecilnya. Tidak ada yang ingin masalah ini dibiarkan berlarut. Karena yang dipertaruhkan adalah masa depan anak-anak Kota Cirebon.

Diskusi pagi itu mungkin sederhana. Tidak ada panggung, tidak ada formalitas berlebih. Tapi di balik gelas-gelas teh yang mulai kosong dan piring-piring yang telah berpindah tangan, lahir sebuah kesepakatan bersama: menjaga anak-anak Cirebon adalah tanggung jawab bersama. Karena semua anak adalah anak kita.

 

Penulis:
Ma’ruf Nuryasa, AP., MM.
Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Kota Cirebon