SEJARAH

Menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad XIV di pantai Laut Jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Padjadjaran). Dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat pemukiman ke tempat pemukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala pemukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.

Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh Raja Galuh dijawab dengan mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.

Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara.

RIWAYAT PEMERINTAHAN

  • Periode Tahun 1270-1910

Pada abad XIII Kota Cirebon ditandai dengan kehidupan yang masih tradisional dan pada tahun 1479 berkembang pesat menjadi pusat penyebaran dan Kerajaan Islam terutama di wilayah Jawa Barat.c Kemudian setelah penjajah Belanda masuk, dibangunlah jaringan jalan raya darat dan kereta api sehingga mempengaruhi perkembangan industri dan perdagangan.

  • Periode Tahun 1910-1937

Pada periode ini Kota Cirebon dishkan menjadi Gemeente Cheirebon dengan luas 1.100 Hektar dan berpenduduk 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370).

  • Periode Tahun 1937-1967

Tahun 1942 Kota Cirebon diperluas menjadi 2.450 hektar dan tahun 1957 status pemerintahannya menjadi Kota Praja dengan luas 3.300 hektar, setelah ditetapkan menjadi Kotamadya tahun 1965 luas wilayahnya menjadi 3.600 hektar.

  • Periode Tahun 1967-Sekarang

Wilayah Kota Cirebon sampai saat ini seluas 3.735,82 hektar. Terbagi dalam 5 kecamatan dan 22 kelurahan. Adapun urutan nama-nama yang pernah memimpin Kota Cirebon
dari jaman Belanda sampai dengan saat ini adalah sebagai berikut :

  1. 1920 – 1925 Burger Meester YH Johan
  2. 1925 – 1928 Burger Meester SE Hotman
  3. 1928 – 1933 Burger Meester Gostrom Slede
  4. 1933 – 1938 Burger Meester HEC Kontic
  5. 1938 – 1942 Burger Meester HSC Hupen
  6. 1942 – 1943 SHITO Asikin Nataatmaja
  7. 1943 – 1949 SHITO Muniran Suria Negara
  8. 1949 – 1950 Wakil Kota Prinata Kusuma
  9. 1950 – 1954 Wakil Kota Mustafa Suryadi
  10. 1954 – 1957 Wali Kota Hardian Karta Atmaja
  11. 1957 – 1959 Walikota Prawira Amijaya
  12. 1959 – 1960 Walikota Moh Safei
  13. 1960 – 1965 Walikota RSA. Prabowo
  14. 1965 – 1966 Walikota R. Sukardi
  15. 1966 – 1974 Walikota Tatang Suwardi
  16. 1974 – 1981 Walikota H Aboeng Koesman
  17. 1981 – 1983 Walikota Drs. H. Achmad Endang
  18. 1983 – 1988 Walikota Drs. Moh. Dasawarsa
  19. 1988 – 1993 Walikota Drs. H. Kumaedhi Syafrudin
  20. 1993 – 1998 Walikota Drs. H. Kumaedhi Syafrudin
  21. 1998 – 2003 Walikota Drs. H. Lasmana Suriaatmadja
  22. 2003 – 2008 Walikota Subardi, S.Pd.
  23. 2008 – 2013 Walikota Subardi, S.Pd.
  24. 2013 – 2015 Walikota Drs. H. Ano Sutrisno, MM (Alm)
  25. 2015 – 2018 Walikota Drs. Nasrudin Azis, SH

KERAJAAN CIREBON

Kerajaan Cirebon merupakan sebuah kerajaan bercorak Islam ternama yang berasal dari Jawa Barat. Kesultanan Cirebon berdiri pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan Cirebon juga merupakan pangkalan penting yang menghubungkan jalur perdagangan antar pulau. Kesultanan Cirebon berlokasi di pantai utara pulau Jawa yang menjadi perbatasan antara wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, ini membuat Kesultanan Cirebon menjadi pelabuhan sekaligus “jembatan” antara 2 kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan Sunda.

Sehingga Kesultanan Cirebon memiliki suatu kebudayaan yang khas tersendiri, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

 

SEJARAH KERAJAAN CIREBON

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon mulanya adalah sebuah dukuh kecil yang awalnya didirkan oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah perkampungan ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran).

Dinamakan Caruban karena di sana ada percampuran para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, latar belakang dan mata pencaharian yang berbeda. Mereka datang dengan tujuan ingin menetap atau hanya berdagang.

Karena awalnya hampir sebagian besar pekerjaan masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan lainnya, seperti menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai yang bisa digunakan untuk pembuatan terasi. Lalu ada juga pembuatan petis dan garam.

Air bekas pembuatan terasi inilah akhirnya tercipta nama “Cirebon” yang berasal dari Cai(air) dan Rebon (udang rebon) yang berkembang menjadi Cirebon yang kita kenal sekarang ini.

Karena memiliki pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon akhirnya menjadi sebuah kota besar yang memiliki salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa.

Pelabuhan sangat berguna dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan seluruh Nusantara maupun dengan negara lainnya. Selain itu, Cirebon juga tumbuh menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

PENDIRIAN DAN SILSILAH RAJA KERAJAAN CIREBON

Pangeran Cakrabuana (1430 – 1479) merupakan keturunan dari kerajaan Pajajaran. Ia adalah putera pertama dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan istri pertamanya yang bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang(pangeran Cakra Buana) meiliki dua orang saudara kandung, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.

Sebagai anak laki-laki tertua, seharusnya ia berhak atas tahta kerajaan Pajajaran. Namun karena ia memeluk agama Islam yang diturunkan oleh ibunya, posisi sebagai putra mahkota akhirnya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa (anak laki-laki dari prabu Siliwangi dan Istri keduanya yang bernama Nyai Cantring Manikmayang).

Ini dikarenakan pada saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Kerajaan Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.

Pangeran Walangsungsang akhirnya membuat sebuah pedukuhan di daerah Kebon Pesisir, mendirikan Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) membuat Dalem Agung Pakungwati serta membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.

Dengan demikian, Pangeran Walangsungsang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon.\Pangeran Walangsungsang, yang telah selesai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman. Ia lalu tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yang memerintah kerajaan dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

Pendirian kesultanan Cirebon memiliki hubungan sangat erat dengan keberadaan Kesultanan Demak.

Sumber : https://urusandunia.com/kerajaan-cirebon/

SEJARAH TIMBULNYA KEEMPAT KERATON

Sejarah Cirebon dimulai dari kampung Kebon Pesisir, pada tahun 1445 dipimpin oleh Ki Danusela.

Perkampungan itu mengalami perkembangan, selanjutnya muncul perkampungan baru yaitu Caruban Larang dengan pemimpinnya bernama H. Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuwana.

Caruban Larang terus berkembang dan pada tahun 1479 sudah disebut sebagai Nagari Cerbon yang dipimpin oleh Tumenggung Syarif Hidayatullah bergelar Susuhunan Jati. Susuhunan Jati meninggal pada tahun 1568 dan digantikan oleh Pangeran Emas yang bergelar Panembahan Ratu.

 Pada tahun 1649 Pangeran Karim yang bergelar Panembahan Girilaya, menggantikan Panembahan Ratu. Panembahan Girilaya wafat pada tahun 1666, untuk sementara Pangeran Wangsakerta diangkat sebagai Susuhunan Cirebon dengan gelar Panembahan Toh Pati.

Tahun 1677 Cirebon terbagi, Pangeran Martawijaya dinobatkan sebagai Sultan Sepuh bergelar Sultan Raja Syamsuddin, Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom bergelar Sultan Muhammad Badriddin. Sultan Sepuh menempati Kraton Pakungwati dan Sultan Anom membangun kraton di bekas rumah Pangeran Cakrabuwana. Sedangkan Sultan Cerbon berkedudukan sebagai wakil Sultan Sepuh. Hingga sekarang ini di Cirebon dikenal terdapat tiga sultan yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon.

Keberadaan ketiga sultan juga ditandai dengan adanya keraton yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Di luar ketiga kesultanan tersebut terdapat satu keraton yang terlepas dari perhatian. Keraton tersebut adalah Keraton Gebang.

Menelusuri Cirebon dan kawasan pantai utara Jawa Barat memang akan banyak menjumpai tinggalan yang berkaitan dengan sejarah Cirebon dan Islamisasi Jawa Barat. Beberapa bangunan sudah banyak dikenal masyarakat seperti Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, Taman Sunyaragi, serta kompleks makam Gunung Sembung dan Gunung Jati.

Sumber : https://sportourism.id/history/sejarah-timbulnya-keempat-keraton-di-cirebon

Letak geografis Cirebon yang berada di persimpangan jalan dari berbagai jurusan, menyebabkan kebudayaan di Kota Pesisir ini terkesan tindih. Salah satu yang amat membekas yakni pengaruh kebudayaan Hindu, baik yang tumbuh di Jawa (Hindu-Jawa) maupun di Sunda (Hindu-Sunda). Indikasi ini misalnya terlihat dari lambang Keraton berupa Harimau putih, yang menurut catatan sejarah merupakan peninggalan dari Kerajaan Hindu-Sunda.

Kalau kita cermati dinamika yang terjadi dalam kebudayaan (baca: kesenian) Cirebon, akan tampak perwujudan persembahan rakyat pada cara kehidupan keagamaan. Sejarah mencatat, sebelum kebudayaan Hindu masuk penduduk Pulau Jawa — termasuk juga Cirebon — memuja segala manifestasi alam yang mereka lihat sekitarnya seperti tumbuh-tumbuhan, batu karang dan laut, juga sungai, gunung, angin dan topan yang sekali-kali mengganggu kehidupan mereka.

Mereka percaya bahwa segala manifestasi alam ini mempunyai roh sendiri, umpamanya roh nenek moyang mereka yang selalu hadir dan mengamati mereka, yang menjadi penjaga kehidupan dan kesehatan. Dengan demikian, bagi orang-orang pra — Hindu semua kesenian bahkan dekorasi pada benda-benda fungsional merupakan perwujudan kepercayaan agama.

Makna spiritual Benda-benda kesenian pada masa dulu dipandang memiliki nilai spiritual tertentu atau memiliki makna keagamaan yang tinggi. Lebih dari itu, benda-benda kesenian tersebut sudah diposisikan terhormat bahkan sebelum mewujud sebagai benda tertentu. Dengan kalimat lain, dari bahan dan tehnik pembuatannya pun sudah mempunyai makna spiritual.

Lambang-lambang khas yang dipakai untuk menghiasi benda kesenian tersebut mempunyai makna keagamaan pula. Pola-pola abstrak seperti bentuk swastika atau wajik, begitu juga bentuk-bentuk naturalis seperti ragam hias pohon hayat dan bentuk batu karang yang bergaya khas yang dinamakan Wadas, merupakan semua lambang kehidupan kerohanian dan organis dan berasal dari masa sebelum kebudayaan Hindu masuk di pulau Jawa.

Eksistensi kesenian — berikut benda-benda seninya — ternyata banyak bermanfaat dalam proses penyebaran agama Islam. Wali Sanga misalnya, para Wali ini menggunakan jalur-jalur kesenian untuk mencapai hati nurani rakyat.

Hal ini tampak pada strategi yang dilakukan Sunan Kalijaga. Beliau menyesuaikan bentuk-bentuk kesenian tradisional kepada kebutuhan rohaniah dan artistik dari masyarakat muslim baru, dan menyatukannya dengan lambang dan ungkapan baru.

Musik, lagu, dan tari, seni lukis, seni pahat dan arsitektur telah mencapai dimensi-dimensi baru. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa salah satu Masjid tertua di Jawa yaitu Masjid Agung Cirebon, bentuknya masih berdasarkan peraturan-peraturan bangunan Jawa Kuno. Begitu juga tidaklah mengherankan bahwa pada perayaan Maulid Nabi, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha masih terdengar suara gamelan sekaten, yang berasal dari masa pra-Islam, yang telah mendapat nama baru, yang mungkin berakar dalam kata hahadati.

Gambaran menjadi lebih jelas lagi kalau mengamati pola dan ragam hias serta desain Cirebon serta mengungkapkan suatu sintesa yang menarik dari berbagai bentuk kebudayaan dan filsafat.

Di zaman Hindu patung dan lukisan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kuil, dan melukiskan wujud agama serta lambang kepercayaan Hindu. Pola-pola semacam ini sekarang dapat dilihat antara lain dalam batik Cirebon dan juga dalam segala corak kesenian Cirebon yang dipengaruhi oleh persentuhan dengan kebudayaan asing lainnya, yang lambat laun diserap dalam kesenian Cirebon Hindu.

Kedatangan agama Islam dengan pola-pola baru dan anjuran agar tidak melukiskan segala bentuk manusiawi dan hewani, justru memperkaya imajinasi para seniman zaman dulu. Anjuran ini tidak selalu ditaati, tradisi kuno dipertahankan dan diperkaya dengan pola yang berciri Timur Tengah, Persia dan India. Sebagai contoh dapat disebut desain Singa Putih, suatu ragam hias yang berkali-kali muncul kembali, yang sebetulnya berasal dari harimau putih, tetapi yang lambat laun berubah menjadi Singa Persia, atau malah Singa Tiongkok.

Ragam Hias

Sekitar tahun 30-an, Keraton Cirebon menghadiahkan sebuah umbul-umbul yang sangat megah kepada Pangeran Mangkunegoro di Solo. Umbul-umbul tersebut dipakai dalam upacara keagamaan kini tergantung di musium Tekstil Jakarta. Benda inipun merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari tradisi kesenian itu.

Di sana digambarkan seekor macan putih dari Cirebon yang dikelilingi oleh kutipan ayat-ayat al-Quran dalam tulisan Arab. Harimau ini sangat mirip dengan singa Iran, dan menjadi lambang Ali, keponakan Nabi Muhammad saw yang disebut Singa Allah dan menjadi pelindung khusus dan tarekat kaum seniman. Singa ini juga merupakan salah satu pola utama dalam kaligrafi Islam, umbul-umbul dipakai sebagai penolak bala.

Style ini kemudian diserap lagi dalam campuran ragam hias yang merupakan ciri khas kesenian dekoratif Cirebon; suatu sintesa yang sungguh-sungguh dari semua ragam kesenian yang diketahui sejak dahulu kala, tepatnya zaman kerajaan dari Pantai Utara Jawa, melalui masa Hindu dan Islam, termasuk pengaruh Cina dan Eropa di zaman yang lebih dekat lagi. Dari kolaborasi inilah seringkali kita saksikan suatu campuran ragam hias dengan corak Hindu, Persia atau Tiongkok yang ditambah dengan kaligrafi Islam. Campuran yang aneh ini seringkali muncul dalam cabang kesenian seperti pahatan kayu dan lukisan di atas kaca.

Selain di atas kaca, pada seni rupa Cirebon juga terdapat seni melukis langsung di atas kain atau dengan mempergunakan suatu proses aplikasi daun emas. Teknik ini ternyata sangat tua dan rupanya berasal dari India. Lukisan-lukisan yang terdapat pada relief-relief Borobudur memperlihatkan penggunaan penutup tubuh seremonial dengan gambar-gambar tersebut di atas. Di Bali pun kita lihat sekarang contoh pakaian upacara dengan aplikasi emas yang dipakai oleh para penari. Begitupun dalam kuil-kuil nampak kain bertulis dan almanak yang menghiasi rumah orang. Orang berpendapat bahwa bentuk seni ini dulu juga ada di Cirebon, dan memainkan peranan besar, baik teknik, maupun desainnya, dalam pertumbuhan perkembangan teknik batik Cirebon yang khas.

Pada bagian lain, kita pun bisa menyelami teknik membatik, yaitu teknik mencetak atau melukis kain dengan cara menutup sebagian dari kain dengan malam atau perekat yang dibuat dari beras dan bahan lain sudah sangat tua umurnya dan seperti juga patung dari batu atau kayu, pada asalnya merupakan sebagian dari upacara tradisional. Tetapi kain lekas punah dan karena itu kini tidak ada lagi peninggalannya.

Dalam konteks Cirebon, banyak terdapat gaya-gaya dengan pola-pola yang berani, berbentuk liong, singa, gajah, mega mendung, wadas, tumbuh-tumbuhan menjalar serta ayam jago yang berkokok. Kebanyakan motif ini merupakan lambang yang dipuja, yang menunjukan kekuatan jantan dan keberanian, malah kadang-kadang keagresifan, petunjuk tentang suatu bangsa yang ingin memperkenalkan kehadirannya setelah begitu lama diterlantarkan oleh dunia luar.

Pahatan kayu, kain penghias dinding, tekstil, musik, tarian dan masakan-masakan, semua bentuk kesenian di Cirebon ini telah mencapai mutu keindahan dan keluwesan dan memperlihatkan tanda yang sama bahwa kesenian ini merupakan perpaduan berbagai-bagai tradisi. Hal inilah yang menjadikan kesenian Cirebon cenderung fariatif dan kompleks, penuh kolaboratif sehingga sangat indah untuk dinikmati, dan amatlah menarik untuk dipelajari.

Oleh: PRA. Arief Natadiningrat, SE, MM